Oleh: Ridwan Lamani*)
Pendahuluan
Pemerintah Indonesia telah melakukan reformasi manajemen keuangan negara baik pada pemerintah pusat maupun pada pemerintah daerah dengan ditetapkannya paket undang-undang bidang keuangan negara, yaitu UU 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Peraturan perundang-undangan tersebut menyatakan bahwa Gubernur/Bupati/Walikota menyampaikan rancangan peraturan daerah tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan, selambat-lambanya 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir. Laporan Keuangan disusun dan disajikan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (PP 24 tahun 2005). Disamping Undang-undang dan peraturan pemerintah tersebut, Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Permendagri No 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Pada Intinya semua peraturan tersebut menginginkan adanya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan daerah.
Dalam laporannya yang dimuat harian Republika tanggal 4 Mei 2010, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Anwar Nasution mengungkapkan, dari 362 laporan keuangan pemerintah daerah (PEMDA) yang diaudit BPK, hanya tiga laporan keuangan atau kurang dari satu persen yang mendapatkan opini ‘wajar tanpa pengecualian’ di mana Sulawesi Utara menjadi salah satu propinsi yang mendapatkan opini tersebut. Opini seperti ini merupakan opini bahwa laporan keuangan tersebut telah sesuai dengan standar yang ditetapkan. Adapun sisanya sebanyak 284 laporan keuangan memperoleh ‘wajar dengan pengecualian’, 19 laporan keuangan ‘tidak wajar’, dan 56 laporan keuangan ‘disclaimer’.
Kondisi ini cukup memprihatinkan, mengingat ketentuan agar Pemda membuat laporan keuangan secara komprehensif berupa neraca, laporan arus kas, dan laporan realisasi anggaran telah diamanatkan dalam UU No 25 tahun 1999 tentang Keuangan Daerah. Tulisan ini mencoba menganalisis masalah yang menyebabkan lambatnya kemajuan pemerintah daerah dalam mewujudkan laporan keuangan yang akuntabel dari aspek ketersediaan sumber daya manusia, konsistensi kebijakan pemerintah pusat, dan paradigma kepala daerah terhadap laporan keuangan Pemerintah Daerah.
Isu-isu reformasi pengelolaan keuangan daerah
Isu yang muncul dan menjadi perdebatan dalam reformasi akuntansi pemerintahan di Indonesia adalah perubahan single entry menjadi double entry. Single entry pada awalnya digunakan sebagai dasar pembukuan dengan alasan utama demi kemudahan dan kepraktisan. Seiring dengan semakin tingginya tuntutan pewujudan good public governance, perubahan tersebut dipandang sebagai solusi yang mendesak untuk diterapkan karena pengaplikasian double entry dapat menghasilkan laporan keuangan yang lengkap dan auditable. 1
Pada sistem pencatatan single entry pencatatan transaksi ekonomi dilakukan dengan mencatat satu kali, transaksi yang berakibat bertambahnya kas dicatat pada sisi penerimaan dan transaksi ekonomi yang berakibat berkurangnya kas dicatat pada sisi pengeluaran. Sedangkan pada sistem pencatatan double entry pada dasarnya suatu transaksi ekonomi akan dicatat dua kali yaitu pada sisi debet dan sisi kredit.2
Disamping isu sistem pencatatan diatas, isu penting lainnya dalam akuntansi pemerintahan adalah basis pencatatan yang digunakan (basis kas atau basis akrual). Dalam Standar Akuntansi Pemerintahan (PP No. 24/2005) basis pencatatan yang digunakan adalah cash towards accrual. Dengan basis pencatatan ini, untuk realisasi pendapatan, belanja, penerimaan dan pengeluaran pembiayaan dicatat berdasarkan basis kas, sedangkan untuk mencatat aset, kewajiban dan ekuitas dicatat berdasarkan basis akrual. Dalam pelaksanaan basis pencatatan ini dikembangkan teknik jurnal yang disebut jurnal korolari, dimana jurnal korolari ini tidak ditemukan dalam akuntansi komersial.
Kendala Sumber Daya Manusia
Reformasi pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 1999 menyebabkan berubahnya praktik akuntansi sederhana single entry berbasis kas menjadi praktik akuntansi double entry berbasis akrual yang relatif lebih rumit agar dapat menghasilkan neraca dan laporan arus kas di samping laporan realisasi anggaran. Praktik akuntansi double entry berbasis akrual, kendati relatif lebih rumit, dipandang memiliki kelebihan berupa kandungan informasi yang lebih baik kepada publik. Selain menginformasikan jumlah dana masyarakat yang dibelanjakan, sistem tersebut juga menginformasikan nilai aset yang dibeli maupun yang dikuasai oleh Pemda. Dengan demikian potensi maupun kinerja keuangan Pemda akan tergambar secara lebih baik jika menggunakan praktik akuntansi double entry berbasis akrual tersebut.
Permasalahannya adalah, untuk menerapkan akuntansi double entry berbasis akrual diperlukan sumber daya manusia (SDM) yang memahami logika akuntansi secara baik.
Aparatur Pemda yang menangani masalah keuangan tidak cukup hanya menguasai penatausahaan anggaran melainkan juga harus memahami karakteristik transaksi yang terjadi dan pengaruhnya terhadap rekening-rekening dalam laporan keuangan Pemda. Kegagalan SDM Pemda dalam memahami dan menerapkan logika akuntansi akan berdampak pada kekeliruan laporan keuangan yang dibuat dan ketidaksesuaian laporan dengan standar yang ditetapkan pemerintah. Dalam hal ini, umumnya Pemda memiliki keterbatasan jumlah SDM yang menguasai logika akuntansi secara baik.
Banyaknya SDM keuangan Pemda yang berlatar belakang non-akuntansi merupakan satu kendala utama saat ini. Akibatnya berbagai pelatihan yang diadakan oleh Pemda maupun pemerintah pusat tidak memberikan hasil maksimal. Dengan demikian, upaya melakukan rekrutmen pegawai berlatar belakang akuntansi dengan spesifikasi teknis akuntansi yang baik merupakan suatu pilihan yang tepat untuk dikembangkan. Permasalahannya, rekrutmen pegawai untuk mengatasi keterbatasan SDM selama ini belumlah optimal dalam mendapatkan pegawai dengan kompetensi terbaik. Hal ini disebabkan oleh model seleksi pegawai yang diterapkan masih bersifat umum dan belum menggali aspek kompetensi akuntansi peserta ujian.
Di samping faktor SDM, tidak konsistennya pemerintah pusat terhadap kebijakan yang dikeluarkan terkait pengelolaan keuangan daerah juga merupakan faktor utama lambatnya kemajuan akuntabilitas keuangan daerah. Dengan alasan perbaikan tata kelola, kebijakan pengelolaan keuangan daerah seringkali direvisi oleh pemerintah pusat melalui berbagai peraturan baru. Pada tahun 2004 misalnya, dengan keluarnya UU No 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sebagai pengganti UU No 25 tahun 1999, Keputusan Menteri Dalam Negeri No 29 tahun 2002 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah yang masih pada tahap sosialisasi, harus segera direvisi kebijakannya agar sinkron dengan UU No 33 yang baru keluar tersebut. Kondisi ini bagi aparatur keuangan Pemda cukup membingungkan dan merepotkan. Ketika hendak mengimplementasikan suatu pedoman yang baru dipelajari, aparatur Pemda sudah diinstruksikan untuk mempelajari ketentuan baru yang berbeda dengan pedoman yang baru saja dipelajari di berbagai pelatihan teknis. Hal ini menjadikan mereka menjadi tidak begitu menguasai persoalan yang harus dihadapinya.
Saat ini, aparatur Pemda menggunakan Peraturan Menteri Dalam Negeri No 9 tahun 2007 sebagai pedoman pengelolaan keuangan daerah, untuk menggantikan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006. Kendati pedoman ini telah mulai familiar di kalangan aparatur Pemda, pengalaman inkonsistensi kebijakan pemerintah pusat tetap membuat sebagian besar Pemda memilih untuk tidak cepat-cepat menerapkan sepenuhnya pedoman ini. Adapun bagi sebagian Pemda, langkah serius untuk menerapkannya baru akan dilakukan jika pemerintah pusat dipandang tidak akan mengubah kebijakan tersebut dalam waktu dekat.
Faktor terakhir yang cukup signifikan menyebabkan lambatnya kemajuan akuntabilitas laporan keuangan Pemda adalah paradigma kepala daerah terhadap benefit dibuatnya laporan keuangan. Banyak kepala daerah masih memandang penyediaan laporan keuangan tidak memberikan benefit yang berarti bagi dirinya maupun daerah yang dipimpinnya, dan bahkan cenderung dipandang sebagai sesuatu yang memberatkan. Pandangan ini menyebabkan minimnya political will kepala daerah dalam menyiapkan berbagai sumber daya yang diperlukan untuk mewujudkan laporan keuangan yang akuntabel. Kondisi ini makin memprihatinkan di daerah yang anggota DPR
Kesalahan Paradigma “Takut Ancaman”
Satu alasan utama bagi sebagian besar Pemda untuk membuat dan menyerahkan laporan keuangan kepada pemerintah pusat adalah adanya ancaman dari Departemen Keuangan untuk tidak mencairkan Dana Alokasi Umum sekiranya Pemda tidak menyerahkan laporan keuangan mereka. Hal ini tentulah cukup memprihatinkan, karena sejatinya laporan keuangan yang akuntabel, merupakan hak publik yang harus dipenuhi oleh kepala daerah yang telah dipilih oleh rakyat.
Jika dibuat dengan kaidah yang benar, laporan keuangan juga dapat dijadikan sebagai dasar yang objektif bagi Pemda dalam membuat perencanaan pembangunan di masa yang akan datang. Laporan tersebut selanjutnya juga bisa dijadikan instrumen yang memadai untuk mengantisipasi dan memverifikasi penyimpangan keuangan yang mungkin terjadi di lingkungan Pemda. Jika paradigma positif ini dimiliki oleh para kepala daerah, tentunya pembuatan laporan keuangan yang akuntabel tidak harus menunggu disyaratkannya laporan keuangan dengan ‘opini wajar tanpa pengecualian’ sebagai dasar dicairkannya Dana Alokasi Umum oleh pemerintah pusat.
Penutup
Laporan keuangan pemerintah daerah yang dihasilkan melalui akuntansi merupakan bentuk transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan publik. Untuk dapat menghasilkan laporan keuangan yang semakin baik, dibutuhkan tenaga-tenaga akuntansi terampil pada pemerintah daerah, hal ini dapat dilakukan melaui kegiatan bimbingan teknis akuntansi bagi pegawai pemerintah daerah yang ditugaskan sebagai pengelola keuangan atau melalui rekrutmen pegawai baru yang memiliki kemampuan akuntansi keuangan daerah.
Disamping tenaga-tenaga akuntansi terampil tersebut, juga dibutuhkan adanya sistem dan prosedur pembukuan yang memadai dan kebijakan akuntansi sebagai pedoman pegawai dalam mengelola keuangan daerah. Regulasi pemerintah yang berubah terlalu cepat juga membuat kualitas pelaporan keuangan daerah menjadi kurang menggembirakan. Selain kenadala-kendala tersebut, Paradigma kepala daerah soal keutungan yang bisa diperoleh dari sistem pelaporan itu juga menjadi kendala serius.
1. Mardiasmo, 2006, Pewujudan Transparansi dan Akuntabilitas Publik Melalui Akuntansi Sektor Publik: Suatu Sarana Good Governance, Jurnal Akuntansi Pemerintahan, Vol. 2, No. 1, Mei 2006, Hal 1 – 17
2. Abdul Hafiz Tanjung, 2008, Akuntansi Pemerintahan Daerah: Konsep dan Aplikasi, Cetakan kedua, Alfabeta, Bandung.
*) Ridwan Lamani, SE; Staf Tata Usaha pada Kantor Arsip dan Perpustakaan Kota Manado
KOTA MANADO
INFORMASI, DATA, DOKUMENTASI
Senin, 19 Juli 2010
Sabtu, 17 Juli 2010
MINAHASA MODERN, MASYARAKAT BERBUDAYA NASI - Oleh : Billy C.W Kalalo (Secangkir kopi untuk mengenang HUT Minahasa 5 November 1428 (?)
Bukan bermaksud untuk paling tahu atau malah menempatkan diri sebagai pengamat budaya kemasyarakatan Minahasa. Tapi hanyalah sebuah catatan untuk menelisik dari sebuah kacamata yang lain mengenai kebudayaan masyarakat Minahasa. Khususnya kehidupan keseharian yang memancar dari gerak dan perilaku mereka. Oleh karena sifatnya kasat mata, maka hendaklah catatan atau tulisan ini janganlah ditanggapi dengan dahi berkernyit dan ketersinggungan. ”Betapa mengagumkan apapun filsafat, jangan terlalu dianggap serius (Sejarah Filsafat, Robert C. Solomon & Kathleen M. Higgins, Kata-pengantar). Oke? Dan tulisan ini stratanya sungguh amatlah jauh dibanding keindahan filsafat. Jadi untuk mempermudah beban pikiran kita, anggaplah tulisan ini sebagai kudapan di sore yang cerah atau uneg-uneg orang yang putus asa, bisa juga curahan hati (curhat) pemuda yang putus cinta.
Tak ada satu pun bukti sejarah yang tersurat maupun tersirat (setidaknya di mata saya) yang menyatakan bahwa Minahasa pernah mengalami sistem monarkhi. Sistem yang secara langsung mengakibatkan terbaginya manusia dalam beberapa derajat atau strata. Sistem yang secara sistematis mendidik dan memaksa manusia untuk patuh kepada tatanan etika dan tata cara tertentu. Oleh karena itu ungkapan “darah biru” sama sekali asing bagi masyarakat kita. Masyarakat yang terpola dalam sistem monarkhi, sudah tahu “siapa mereka” dan “apa yang harus dilakukan”.
Mungkin karena latar belakang itulah, sehingga semua masyarakat Minahasa merasa selevel dan tinggi gengsinya. Berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah. Bisa saja “ungkapan sei re’en?” tumbuh dari asal-usul ini. “Kiapa so ngana?” “Sapa ngana sapa kita”, “Belum tahu sto sapa kita?” atau “baku abis jo!” adalah ungkapan sehari-hari yang melambangkan kepercayaan diri yang kuat. Bahwa tidak ada individu yang harus tunduk kepada individu yang lain dalam kehidupan di bumi Minahasa. Saya percaya situasi ini secara gradual dan tanpa disadari telah memilah-milahkan masyarakat Minahasa dalam komunitas-komunitas. Tetapi bukan suatu koloni yang resistan terhadap koloni lain, melainkan kepada pembentukan ciri dan karakter manusia Minahasa. Sehingga mereka, disadari atau tidak, sebenarnya “berbeda”.
Oleh karena tidak memiliki alat ukur untuk mengetahui seberapa jauh masyarakat Minahasa berkiblat dalam kehidupan sosial dan pembentukan karakter mereka (Seperti masyarakat Jawa yang begitu patuh pada “darah birunya”, atau masyarakat Bali yang menjunjung tinggi kastanya). Maka tiba-tiba hati saya terusik untuk mengamatinya dari sebuah sisi yang unik yakni, nasi.
Dalam dunia kulinari oriental, nasi menempati posisi tertinggi (main course). Ia setara dengan makanan pembangkit tenaga lainnya yang kaya kandungan karbohidrat seperti kentang, roti, pasta atau spaggheti dalam kulinari kontinental. Oleh karena itu, apapun makanan pendampingnya, nasi harus tersedia.
Nasi dalam kehidupan masyarakat Minahasa terdiri atas empat golongan besar, masing-masing : Nasi Putih, Nasi Milu, Nasi Bungkus dan Nasi Jaha. Secara abstrak dilihat dari nama, semua kelihatan sama. Tapi kenyataannya secara budaya dan fungsi memiliki pemahaman yang luas. Marilah kita sama-sama membahasnya satu persatu.
1. Nasi Putih.
Nasi putih dalam bahan pangan masyarakat Minahasa menempati strata tertinggi. Sifatnya primer. Umumnya nasi jenis ini adalah konsumsi Orang Minahasa yang so jadi Orang Manado (Orang Manado = Orang Kota, biasanya diartikan lebih maju daripada Orang Gunung = Orang Desa). Nasi putih adalah ratu, ia begitu elegan menghiasi hidangan-hidangan pesta baik besar maupun kecil. Lambang keangkuhan.
Saya tidak mengatakan bahwa Orang Gunung itu tidak bisa atau tidak mampu makan nasi putih. Tapi konteks pembahasan kita sedikit kepada pemikiran yang memang agak usil. Dan kenyataannya masih ada juga Orang Gunung yang tidak mengkonsumsi nasi putih sekalipun daerahnya tergolong penghasil beras berkualitas.
Sering kita mendengar ungkapan-ungkapan seperti “Makan nasi beras Yenti deng ikang garang pake dabu-dabu lemong, mama mantu so ciri di parigi kita cuma mo lempar falo-falo” Atau ketika pulang dari pesta pernikahan si tamu berujar “Pe sadap te’ tu makanan mar depe nasi beras DOLOG!!!”. Nah, di sini jelas terlihat bahwa betapa harga dan kualitas nasi putih menjadi simbol kemewahan, kenikmatan dan maaf, aroganitas.
Ke-ekslusifan nasi putih tidak harus memisahkan dia dari santapan lain sehingga tidak mau menerima “kesederhanaan ikan garang dan dabu-dabu”, namun apapun itu, ikan garang dan dabu-dabu tetaplah pelengkap penggembira (compliment). Sama seperti posisi Jardinière Of Carrot, Parsley Potatoes dan Buttered Green Bean dalam menu erupa, Sirloin steak.
Pada generasi moderen Minahasa (ditinjau dari budaya), golongan nasi putih dikenal sebagai kaum urban. Masyarakat nasi putih identik dengan “lebih maju”, baik secara ekonomi maupun intelektualitas. Di Minahasa, semakin tinggi kualitas dan jenis bahan baku nasi putih itu, maka semakin naik pula kualitas sosial dan ekonomi mereka. Artinya gengsi! Kalau anda berbahan baku ayah anggota DPR atau ibu pejabat pemprov maka secara budaya nasi, anda termasuk golongan nasi putih.
Sesungguhnya nasi putih mewakili semua kalangan. Penetralisir. Ia bisa di mana saja dan untuk siapa saja. Namun bukan sinisme, golongan masyarakat nasi putih Minahasa biasanya cenderung sombong. Mereka mengkotak-kotakan diri dalam selimut gengsi dan selektif dalam interaksi sosial. Menganggap diri lebih tinggi. Dan bukan hal yang aneh, jika ucapan “Kita pe papa kwa tu kepala ini...” atau “Kita pe mama kwa tu ketua ini...” seringkali muncul. Bila anda bertemu dengan mereka. Silahkan anda justifikasi bahwa dia termasuk golongan nasi putih.
Tetapi banyak juga masyarakat Minahasa sekali pun berstatus nasi putih, tapi tetap mempertahankan diri dalam fungsi semestinya. Dalam arti tetap menjadi sumber karbohidrat untuk pembangkit tenaga (semangat) dan mewakili (keaneka-ragaman) semua kalangan. Golongan ini akan dihormati oleh nasi-nasi yang lain. Bahkan ia bisa dengan mudah menyesuaikan diri dengan hidangan pendamping (suku) apapun. Apakah itu soto makassar, soto betawi atau pun lawar bali.
Hirarki nasi putih dalam masyarakat Minahasa secara sistematis telah tersusun. Jika anda nasi putih beras dolog, janganlah berani atau mentang-mentang kepada nasi putih beras superwin apalagi beras yenti, demikian seterusnya. Masyarakat Minahasa golongan beras superwin, biasanya diundang untuk berbasa-basi pada acara-acara penting beras dolog, begitulah sampai pada turunan yang lebih rendah. Hal ini berbeda dengan kehidupan masyarakat lain. Bali misalnya, sekalipun seorang berkasta sudra yang notabene agraris dan berada dalam kelas nasi putih, tetaplah ia harus hormat dan tunduk jika berkepentingan dengan seorang dari kasta brahmana. Tak peduli si brahmana mungkin saja bukan golongan nasi putih.
Mungkin dengan gamblang golongan nasi putih di Minahasa bisa dilukiskan dengan dinasti raja cingkeh, birokrat ternama atau pengusaha sukses dan tuan tanah. Merekalah yang di tinggikan, dijadikan papa ani atau mama ani, dsb. Mereka terlebih anak dan cucunya, merasa derajatnya lebih tinggi dan harus dipuja-puja. Maka tidaklah mengherankan, kerap kita melihat terjadi konflik antar sesama nasi putih. Yang kemudian berbuntut dendam politik yang berkepanjangan yang menyusahkan rakyat.
2. Nasi Milu.
Kalau anda Minahasa sejati. Tentu anda pernah mencicipi nasi jenis ini (yang belum, berarti orang Minahasa tapi tidak sejati). Nasi ini masuk kategori primer. Berbeda dengan nasi putih, dari segi citarasa (taste), nasi milu lebih menyiksa lidah dan gigi apalagi bagi yang tidak terbiasa. Dan jangan pernah berharap akan hadir nasi milu pada pesta-pesta. Ia begitu sederhana dan bersahaja sekaligus terhina. Ia biasanya menjadi abdi bagi nasi putih. Ringkasnya, jika nasi putih tendensinya kepada kaum kapitalis Minahasa sedangkan nasi milu identik dengan kaum proletariatnya.
Nasi milu adalah makanan wajib bagi pekerja Mapalus. Khususnya di Minahasa Selatan. Dan kita tahu pekerja mapalus sekarang dibayar dan masuk dalam klasifikasi rakyat kelas rendahan. Omong kosong bilang itu gotong royong. Harga nasi milu pun relatif murah. Tapi di luar teksturnya yang keras itu. Nasi milu sesungguhnya sangat lesat (apalagi dilahap bersama masakan santan). Dalam kesederhanaan, ia bisa disetarakan dengan ayam goreng kentucky. Bukan hidangan mahal. Tapi diterima siapa saja.
Golongan nasi putih biasanya akan melilit perutnya bila mengkonsumsi nasi milu. Jauh berbeda dengan perilaku mereka yang biasanya gemar melilitkan perut golongan nasi milu. Kaum nasi putih menempatkan nasi milu sebagai makanan ayam atau anjing. Sungguh apresiasi yang menghinakan. Dan kenyataannya, masyarakat nasi milu selalu menjadi pembokat di rumah-rumah kalangan nasi putih.
Golongan nasi ini adalah golongan masyarakat Minahasa yang marjinal. Mereka hidup di daerah suburban dan pedalaman. Mereka agraris. Dalam kelompok-kelompok mereka, seringkali terselip satu atau dua orang Minahasa berbudaya nasi putih, yang biasanya menjadi raja kecil di situ. Ada juga nasi milu yang hidup di perkotaan. Dan mereka biasanya menjadi “kaget” lalu berubah jadi “nasi putih imitasi”, sehingga terkesan udik dan makang puji bahkan tak jarang orang ja beking bodok. Tapi banyak pula di antaranya yang konsisten mempertahankan norma-norma nasi milunya.
Komunitas nasi milu sangat menghargai tata krama dan sederhana. Mereka akan memperlakukan si nasi putih bagai maharaja jika ke rumahnya. Menyembelih ayam untuk dipersembahkan (walau ayam itu cuma satu-satunya), membeli beras termahal untuk ditanak (walau uang mereka tinggal itu semata). Bukan main kebaikan itu. Sayang, mereka tetap ditoleh sebelah mata oleh nasi putih. Namun ingat!! golongan nasi milu itu pendendam. Mereka berontak bila terlampau disemena-menakan. Bahkan bisa merubahnya menjadi seekor singa.
Nah, golongan nasi putih yang tetap merasa lesat berbudaya nasi milu. Seringkali mendapat pujian. Kategori ini umumnya berasal dari komunitas nasi milu yang tidak lupa daratan. Dia berjuang keras akhirnya sukses menjadi nasi putih. Sebaliknya mantan nasi milu yang berhasil naik jadi nasi putih kemudian lupa diri, sulit mendapatkan simpati golongan nasi milu. Nanti kalau ada perlu (contohnya Pemilu), barulah mereka sok peduli dengan nasi milu.
Sayang, Nasi milu kurang cocok dipadankan dengan beragam hidangan lain. Ia kaku dan terbatas. Bisa dipaksakan tapi rasanya kurang lesat. Mungkin karena nasi milu kurang berinteraksi dengan dunia luar. Kemampuan mereka terbatas.
3. Nasi Bungkus.
Nasi bungkus bukan hidangan sehari-hari. Ia mobile. Ia tidak primer tidak juga sekunder. Ia elegan dan anggun. Proses memasaknya agak rumit, menggunakan daun khusus. Nasi bungkus sangat lesat. Citarasa yang ditularkan oleh daun membuatnya legit dan enak dimakan tanpa makanan pendamping. Nasi jenis ini wajib disajikan pada selebrasi khusus seperti : Pengucapan, Natal, baptisan dan acara lain yang sifatnya perayaan. Bisa juga untuk piknik atau bekal perjalanan jauh.
Seperti daun yang membungkusnya. Masyarakat berbudaya nasi bungkus juga umumnya tertutup. Mereka cenderung membatasi diri. Mereka tampil jika betul-betul diperlukan. Kadang kehadiran mereka benar-benar berguna. Dalam kacamata saya, golongan ini adalah kaum perantau atau partikelir yang masa bodoh. Mereka tak peduli dengan gejolak di daerahnya. Mereka bekerja untuk diri mereka sendiri dan cuma hadir pada seremoni-seremoni tertentu. Hal ini dipengaruhi oleh kenyataan bahwa mereka semula nasi milu atau nasi putih kategori beras dolog yang berusaha sendiri dan tak mau ambil pusing gunjingan orang.
Namun mereka ringan tangan. Tak ada jurang yang membatasi antara nasi jenis ini dengan nasi jenis lain. Ia fleksibel. Ia bahkan mungkin lebih kaya dari seorang gubernur. Meski sebagian mereka pelit, tapi jika dibutuhkan, mereka tak segan memberikan bantuan finansial tanpa pamrih kepada daerahnya. Mereka tak suka publikasi. Tapi mereka akrab dan menerima disparitas baik dari segi pendidikan maupun status sosial. Mereka suka risih jika diagung-agungkan.
Golongan ini pintar. Intelektualitasnya tinggi, sabar dan pemikir. Naluri ekonominya tajam. Pekerja keras dan baru bicara setelah sukses. Oleh karena itu, mereka lebih akrab bergaul dengan nasi milu ketimbang nasi putih. Mereka muak dengan basa-basi yang merupakan ciri khas nasi putih. Meskipun mampu, mereka akan menolak jika ditawari jabatan tertentu.
Nasi bungkus walau bisa dimakan begitu saja, ia tetaplah membutuhkan hidangan pendamping. Maka tak heran golongan masyarakat Minahasa berbudaya nasi bungkus mudah berinteraksi sosial dalam lingkup yang terbatas tentunya. Daya tahan nasi bungkus juga tinggi, tidak gampang basi. Mereka pantang menyerah dan tidak mudah sakit hati.
Yang menjadi kelemahan mereka adalah, keseriusan hidup dan cara mereka membatasi diri seringkali membuat nasi putih sirik dan nasi milu menganggapnya sombong. Mereka dituduh tidak peduli. Tapi itulah nasi bungkus. Tidak disajikan setiap hari. Bagi masyarakat Minahasa yang berbudaya nasi bungkus, dalam menanggapi sorotan itu mungkin akan dijawab, Who care? Atau emangnya gue pikirin? atau mengutip kalimat orang mabuk, memangnya ngoni pe got?
4. Nasi Jaha.
Inilah kategori nasi yang paling enak. Ia tidak primer, murni sekunder. Kehadirannya tidak dinanti atau dirindukan. Selain proses memasaknya paling sulit dibanding yang lain, ia juga membutuhkan beragam rempah-rempah. Untuk menanaknya kita memerlukan bambu dan daun. Memasaknya menggunakan kayu bakar, sehingga si pembakar pun harus rela basuar jaha. Cara menyajikan nasi jaha pun istimewa. Ia harus panas. Dan tak boleh disajikan pada sembarang tempat. Sedikit mirip dengan nasi bungkus tapi ekslusifitasnya agak berbeda. Jika tidak di tangani hati-hati, ia mudah basi.
Agak sulit menemukan nasi jaha pada setiap perayaan, kecuali pengucapan syukur yang dewasa ini maknanya lebih kepada simbol hura-hura ketimbang pelestarian budaya. Tergantung selera. Di suatu acara dia dihidangkan, tapi pada acara lain tidak. Nasi jaha lebih cenderung dijual pada warung-warung tertentu. Lebih cocok disantap saat makan pagi. Nasi ini bisa disamakan dengan flakes atau cereal pada menu expatriat. Begitu expensive begitu famous. Tidak perlu hidangan pendamping untuk melahapnya. Ia egois.
Nah, masyarakat Minahasa berbudaya nasi jaha juga begitu. Ia kaya-raya dan sombong. Terlalu banyak kehendak jika kita berurusan dengan mereka (banya rampa-rampa). Gengsinya setinggi bintang dan nimbole tasalah (mudah basi). Semakin dipuja, maka semakin tinggilah mereka terbang. Masyarakat golongan nasi jaha, lebih jaha dan arogan dari nasi putih karena umumnya mereka turunan dari nasi putih. Mereka kaya dan jadi sombong oleh posisi leluhurnya di republik ini. Atau warisan yang melimpah ruah. Memang orang seperti ini jarang ditemui. Tapi mereka ada.
Tidak semua masyarakat berbudaya nasi jaha itu pintar. Mereka terkadang jadi hebat sebab mereka seorang pewaris dari dinasti yang besar. Wah! Kalau ente-ente cuma nasi milu janganlah terlalu optimis untuk mendekati mereka. Seperti bambu dan daun yang membungkus nasi jaha, begitu pula mereka menjaga teritorial gengsi serta kehidupan sosial mereka. Belum lagi bumbu-bumbu yang mereka butuhkan. Inilah kaum yang ada namun tiada. Cuma memikirkan nasib sendiri. Nasi putih pun seakan tak berdaya berhadapan dengan mereka. Barangkali golongan yang agak ia segani cumalah nasi bungkus. Tapi jangan kuatir, torang tidak akan mati tanpa nasi jaha, bukan? Yang bahaya jika kita nasi milu tapi sok jadi nasi jaha. Ketinggian itu namanya.
Kalau anda pemuda nasi milu yang ingin mendekati gadis Minahasa berbudaya nasi jaha, saya sarankan cek merek dulu alias bajaoh jo jangan sampe anda diteriaki Bakaca ngana!!! Sebab apa? seperti bambu nasi jaha yang itang badiki begitu pula dari luar sifat dan perilaku mereka tampak. Dan biar pun berhasil anda sentuh bambu itu, hati-hatilah saat merobeknya. Tangan anda bisa tersayat. Tangan so itang kong luka lagi. Eh, ternyata isinya bukan untuk kita. Ampooon! Nasi-nasi...
Tentunya bermacam pikiran membelukar di benak kita usai membaca uneg-uneg ini. Memang tulisan ini sifatnya arguable, karena pada kenyataannya ada juga masyarakat Minahasa yang berbudaya nasi campur, nasi lontong bahkan lalampa. Lantas di nasi manakah kita berada? Ha..ha..ha.. Tenang, jangan dulu menautkan alis. Sudah nyaku sebut pada alinea pertama, ini sekedar curahan hati belaka. Kalau terlampau serius kita malah tidak akan masuk dalam kategori nasi manapun melainkan jadi nasi angus alias tus-tus!!!
Selamat hari jadi Minahasa.
Penulis adalah Generasi Muda Minahasa.
Tak ada satu pun bukti sejarah yang tersurat maupun tersirat (setidaknya di mata saya) yang menyatakan bahwa Minahasa pernah mengalami sistem monarkhi. Sistem yang secara langsung mengakibatkan terbaginya manusia dalam beberapa derajat atau strata. Sistem yang secara sistematis mendidik dan memaksa manusia untuk patuh kepada tatanan etika dan tata cara tertentu. Oleh karena itu ungkapan “darah biru” sama sekali asing bagi masyarakat kita. Masyarakat yang terpola dalam sistem monarkhi, sudah tahu “siapa mereka” dan “apa yang harus dilakukan”.
Mungkin karena latar belakang itulah, sehingga semua masyarakat Minahasa merasa selevel dan tinggi gengsinya. Berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah. Bisa saja “ungkapan sei re’en?” tumbuh dari asal-usul ini. “Kiapa so ngana?” “Sapa ngana sapa kita”, “Belum tahu sto sapa kita?” atau “baku abis jo!” adalah ungkapan sehari-hari yang melambangkan kepercayaan diri yang kuat. Bahwa tidak ada individu yang harus tunduk kepada individu yang lain dalam kehidupan di bumi Minahasa. Saya percaya situasi ini secara gradual dan tanpa disadari telah memilah-milahkan masyarakat Minahasa dalam komunitas-komunitas. Tetapi bukan suatu koloni yang resistan terhadap koloni lain, melainkan kepada pembentukan ciri dan karakter manusia Minahasa. Sehingga mereka, disadari atau tidak, sebenarnya “berbeda”.
Oleh karena tidak memiliki alat ukur untuk mengetahui seberapa jauh masyarakat Minahasa berkiblat dalam kehidupan sosial dan pembentukan karakter mereka (Seperti masyarakat Jawa yang begitu patuh pada “darah birunya”, atau masyarakat Bali yang menjunjung tinggi kastanya). Maka tiba-tiba hati saya terusik untuk mengamatinya dari sebuah sisi yang unik yakni, nasi.
Dalam dunia kulinari oriental, nasi menempati posisi tertinggi (main course). Ia setara dengan makanan pembangkit tenaga lainnya yang kaya kandungan karbohidrat seperti kentang, roti, pasta atau spaggheti dalam kulinari kontinental. Oleh karena itu, apapun makanan pendampingnya, nasi harus tersedia.
Nasi dalam kehidupan masyarakat Minahasa terdiri atas empat golongan besar, masing-masing : Nasi Putih, Nasi Milu, Nasi Bungkus dan Nasi Jaha. Secara abstrak dilihat dari nama, semua kelihatan sama. Tapi kenyataannya secara budaya dan fungsi memiliki pemahaman yang luas. Marilah kita sama-sama membahasnya satu persatu.
1. Nasi Putih.
Nasi putih dalam bahan pangan masyarakat Minahasa menempati strata tertinggi. Sifatnya primer. Umumnya nasi jenis ini adalah konsumsi Orang Minahasa yang so jadi Orang Manado (Orang Manado = Orang Kota, biasanya diartikan lebih maju daripada Orang Gunung = Orang Desa). Nasi putih adalah ratu, ia begitu elegan menghiasi hidangan-hidangan pesta baik besar maupun kecil. Lambang keangkuhan.
Saya tidak mengatakan bahwa Orang Gunung itu tidak bisa atau tidak mampu makan nasi putih. Tapi konteks pembahasan kita sedikit kepada pemikiran yang memang agak usil. Dan kenyataannya masih ada juga Orang Gunung yang tidak mengkonsumsi nasi putih sekalipun daerahnya tergolong penghasil beras berkualitas.
Sering kita mendengar ungkapan-ungkapan seperti “Makan nasi beras Yenti deng ikang garang pake dabu-dabu lemong, mama mantu so ciri di parigi kita cuma mo lempar falo-falo” Atau ketika pulang dari pesta pernikahan si tamu berujar “Pe sadap te’ tu makanan mar depe nasi beras DOLOG!!!”. Nah, di sini jelas terlihat bahwa betapa harga dan kualitas nasi putih menjadi simbol kemewahan, kenikmatan dan maaf, aroganitas.
Ke-ekslusifan nasi putih tidak harus memisahkan dia dari santapan lain sehingga tidak mau menerima “kesederhanaan ikan garang dan dabu-dabu”, namun apapun itu, ikan garang dan dabu-dabu tetaplah pelengkap penggembira (compliment). Sama seperti posisi Jardinière Of Carrot, Parsley Potatoes dan Buttered Green Bean dalam menu erupa, Sirloin steak.
Pada generasi moderen Minahasa (ditinjau dari budaya), golongan nasi putih dikenal sebagai kaum urban. Masyarakat nasi putih identik dengan “lebih maju”, baik secara ekonomi maupun intelektualitas. Di Minahasa, semakin tinggi kualitas dan jenis bahan baku nasi putih itu, maka semakin naik pula kualitas sosial dan ekonomi mereka. Artinya gengsi! Kalau anda berbahan baku ayah anggota DPR atau ibu pejabat pemprov maka secara budaya nasi, anda termasuk golongan nasi putih.
Sesungguhnya nasi putih mewakili semua kalangan. Penetralisir. Ia bisa di mana saja dan untuk siapa saja. Namun bukan sinisme, golongan masyarakat nasi putih Minahasa biasanya cenderung sombong. Mereka mengkotak-kotakan diri dalam selimut gengsi dan selektif dalam interaksi sosial. Menganggap diri lebih tinggi. Dan bukan hal yang aneh, jika ucapan “Kita pe papa kwa tu kepala ini...” atau “Kita pe mama kwa tu ketua ini...” seringkali muncul. Bila anda bertemu dengan mereka. Silahkan anda justifikasi bahwa dia termasuk golongan nasi putih.
Tetapi banyak juga masyarakat Minahasa sekali pun berstatus nasi putih, tapi tetap mempertahankan diri dalam fungsi semestinya. Dalam arti tetap menjadi sumber karbohidrat untuk pembangkit tenaga (semangat) dan mewakili (keaneka-ragaman) semua kalangan. Golongan ini akan dihormati oleh nasi-nasi yang lain. Bahkan ia bisa dengan mudah menyesuaikan diri dengan hidangan pendamping (suku) apapun. Apakah itu soto makassar, soto betawi atau pun lawar bali.
Hirarki nasi putih dalam masyarakat Minahasa secara sistematis telah tersusun. Jika anda nasi putih beras dolog, janganlah berani atau mentang-mentang kepada nasi putih beras superwin apalagi beras yenti, demikian seterusnya. Masyarakat Minahasa golongan beras superwin, biasanya diundang untuk berbasa-basi pada acara-acara penting beras dolog, begitulah sampai pada turunan yang lebih rendah. Hal ini berbeda dengan kehidupan masyarakat lain. Bali misalnya, sekalipun seorang berkasta sudra yang notabene agraris dan berada dalam kelas nasi putih, tetaplah ia harus hormat dan tunduk jika berkepentingan dengan seorang dari kasta brahmana. Tak peduli si brahmana mungkin saja bukan golongan nasi putih.
Mungkin dengan gamblang golongan nasi putih di Minahasa bisa dilukiskan dengan dinasti raja cingkeh, birokrat ternama atau pengusaha sukses dan tuan tanah. Merekalah yang di tinggikan, dijadikan papa ani atau mama ani, dsb. Mereka terlebih anak dan cucunya, merasa derajatnya lebih tinggi dan harus dipuja-puja. Maka tidaklah mengherankan, kerap kita melihat terjadi konflik antar sesama nasi putih. Yang kemudian berbuntut dendam politik yang berkepanjangan yang menyusahkan rakyat.
2. Nasi Milu.
Kalau anda Minahasa sejati. Tentu anda pernah mencicipi nasi jenis ini (yang belum, berarti orang Minahasa tapi tidak sejati). Nasi ini masuk kategori primer. Berbeda dengan nasi putih, dari segi citarasa (taste), nasi milu lebih menyiksa lidah dan gigi apalagi bagi yang tidak terbiasa. Dan jangan pernah berharap akan hadir nasi milu pada pesta-pesta. Ia begitu sederhana dan bersahaja sekaligus terhina. Ia biasanya menjadi abdi bagi nasi putih. Ringkasnya, jika nasi putih tendensinya kepada kaum kapitalis Minahasa sedangkan nasi milu identik dengan kaum proletariatnya.
Nasi milu adalah makanan wajib bagi pekerja Mapalus. Khususnya di Minahasa Selatan. Dan kita tahu pekerja mapalus sekarang dibayar dan masuk dalam klasifikasi rakyat kelas rendahan. Omong kosong bilang itu gotong royong. Harga nasi milu pun relatif murah. Tapi di luar teksturnya yang keras itu. Nasi milu sesungguhnya sangat lesat (apalagi dilahap bersama masakan santan). Dalam kesederhanaan, ia bisa disetarakan dengan ayam goreng kentucky. Bukan hidangan mahal. Tapi diterima siapa saja.
Golongan nasi putih biasanya akan melilit perutnya bila mengkonsumsi nasi milu. Jauh berbeda dengan perilaku mereka yang biasanya gemar melilitkan perut golongan nasi milu. Kaum nasi putih menempatkan nasi milu sebagai makanan ayam atau anjing. Sungguh apresiasi yang menghinakan. Dan kenyataannya, masyarakat nasi milu selalu menjadi pembokat di rumah-rumah kalangan nasi putih.
Golongan nasi ini adalah golongan masyarakat Minahasa yang marjinal. Mereka hidup di daerah suburban dan pedalaman. Mereka agraris. Dalam kelompok-kelompok mereka, seringkali terselip satu atau dua orang Minahasa berbudaya nasi putih, yang biasanya menjadi raja kecil di situ. Ada juga nasi milu yang hidup di perkotaan. Dan mereka biasanya menjadi “kaget” lalu berubah jadi “nasi putih imitasi”, sehingga terkesan udik dan makang puji bahkan tak jarang orang ja beking bodok. Tapi banyak pula di antaranya yang konsisten mempertahankan norma-norma nasi milunya.
Komunitas nasi milu sangat menghargai tata krama dan sederhana. Mereka akan memperlakukan si nasi putih bagai maharaja jika ke rumahnya. Menyembelih ayam untuk dipersembahkan (walau ayam itu cuma satu-satunya), membeli beras termahal untuk ditanak (walau uang mereka tinggal itu semata). Bukan main kebaikan itu. Sayang, mereka tetap ditoleh sebelah mata oleh nasi putih. Namun ingat!! golongan nasi milu itu pendendam. Mereka berontak bila terlampau disemena-menakan. Bahkan bisa merubahnya menjadi seekor singa.
Nah, golongan nasi putih yang tetap merasa lesat berbudaya nasi milu. Seringkali mendapat pujian. Kategori ini umumnya berasal dari komunitas nasi milu yang tidak lupa daratan. Dia berjuang keras akhirnya sukses menjadi nasi putih. Sebaliknya mantan nasi milu yang berhasil naik jadi nasi putih kemudian lupa diri, sulit mendapatkan simpati golongan nasi milu. Nanti kalau ada perlu (contohnya Pemilu), barulah mereka sok peduli dengan nasi milu.
Sayang, Nasi milu kurang cocok dipadankan dengan beragam hidangan lain. Ia kaku dan terbatas. Bisa dipaksakan tapi rasanya kurang lesat. Mungkin karena nasi milu kurang berinteraksi dengan dunia luar. Kemampuan mereka terbatas.
3. Nasi Bungkus.
Nasi bungkus bukan hidangan sehari-hari. Ia mobile. Ia tidak primer tidak juga sekunder. Ia elegan dan anggun. Proses memasaknya agak rumit, menggunakan daun khusus. Nasi bungkus sangat lesat. Citarasa yang ditularkan oleh daun membuatnya legit dan enak dimakan tanpa makanan pendamping. Nasi jenis ini wajib disajikan pada selebrasi khusus seperti : Pengucapan, Natal, baptisan dan acara lain yang sifatnya perayaan. Bisa juga untuk piknik atau bekal perjalanan jauh.
Seperti daun yang membungkusnya. Masyarakat berbudaya nasi bungkus juga umumnya tertutup. Mereka cenderung membatasi diri. Mereka tampil jika betul-betul diperlukan. Kadang kehadiran mereka benar-benar berguna. Dalam kacamata saya, golongan ini adalah kaum perantau atau partikelir yang masa bodoh. Mereka tak peduli dengan gejolak di daerahnya. Mereka bekerja untuk diri mereka sendiri dan cuma hadir pada seremoni-seremoni tertentu. Hal ini dipengaruhi oleh kenyataan bahwa mereka semula nasi milu atau nasi putih kategori beras dolog yang berusaha sendiri dan tak mau ambil pusing gunjingan orang.
Namun mereka ringan tangan. Tak ada jurang yang membatasi antara nasi jenis ini dengan nasi jenis lain. Ia fleksibel. Ia bahkan mungkin lebih kaya dari seorang gubernur. Meski sebagian mereka pelit, tapi jika dibutuhkan, mereka tak segan memberikan bantuan finansial tanpa pamrih kepada daerahnya. Mereka tak suka publikasi. Tapi mereka akrab dan menerima disparitas baik dari segi pendidikan maupun status sosial. Mereka suka risih jika diagung-agungkan.
Golongan ini pintar. Intelektualitasnya tinggi, sabar dan pemikir. Naluri ekonominya tajam. Pekerja keras dan baru bicara setelah sukses. Oleh karena itu, mereka lebih akrab bergaul dengan nasi milu ketimbang nasi putih. Mereka muak dengan basa-basi yang merupakan ciri khas nasi putih. Meskipun mampu, mereka akan menolak jika ditawari jabatan tertentu.
Nasi bungkus walau bisa dimakan begitu saja, ia tetaplah membutuhkan hidangan pendamping. Maka tak heran golongan masyarakat Minahasa berbudaya nasi bungkus mudah berinteraksi sosial dalam lingkup yang terbatas tentunya. Daya tahan nasi bungkus juga tinggi, tidak gampang basi. Mereka pantang menyerah dan tidak mudah sakit hati.
Yang menjadi kelemahan mereka adalah, keseriusan hidup dan cara mereka membatasi diri seringkali membuat nasi putih sirik dan nasi milu menganggapnya sombong. Mereka dituduh tidak peduli. Tapi itulah nasi bungkus. Tidak disajikan setiap hari. Bagi masyarakat Minahasa yang berbudaya nasi bungkus, dalam menanggapi sorotan itu mungkin akan dijawab, Who care? Atau emangnya gue pikirin? atau mengutip kalimat orang mabuk, memangnya ngoni pe got?
4. Nasi Jaha.
Inilah kategori nasi yang paling enak. Ia tidak primer, murni sekunder. Kehadirannya tidak dinanti atau dirindukan. Selain proses memasaknya paling sulit dibanding yang lain, ia juga membutuhkan beragam rempah-rempah. Untuk menanaknya kita memerlukan bambu dan daun. Memasaknya menggunakan kayu bakar, sehingga si pembakar pun harus rela basuar jaha. Cara menyajikan nasi jaha pun istimewa. Ia harus panas. Dan tak boleh disajikan pada sembarang tempat. Sedikit mirip dengan nasi bungkus tapi ekslusifitasnya agak berbeda. Jika tidak di tangani hati-hati, ia mudah basi.
Agak sulit menemukan nasi jaha pada setiap perayaan, kecuali pengucapan syukur yang dewasa ini maknanya lebih kepada simbol hura-hura ketimbang pelestarian budaya. Tergantung selera. Di suatu acara dia dihidangkan, tapi pada acara lain tidak. Nasi jaha lebih cenderung dijual pada warung-warung tertentu. Lebih cocok disantap saat makan pagi. Nasi ini bisa disamakan dengan flakes atau cereal pada menu expatriat. Begitu expensive begitu famous. Tidak perlu hidangan pendamping untuk melahapnya. Ia egois.
Nah, masyarakat Minahasa berbudaya nasi jaha juga begitu. Ia kaya-raya dan sombong. Terlalu banyak kehendak jika kita berurusan dengan mereka (banya rampa-rampa). Gengsinya setinggi bintang dan nimbole tasalah (mudah basi). Semakin dipuja, maka semakin tinggilah mereka terbang. Masyarakat golongan nasi jaha, lebih jaha dan arogan dari nasi putih karena umumnya mereka turunan dari nasi putih. Mereka kaya dan jadi sombong oleh posisi leluhurnya di republik ini. Atau warisan yang melimpah ruah. Memang orang seperti ini jarang ditemui. Tapi mereka ada.
Tidak semua masyarakat berbudaya nasi jaha itu pintar. Mereka terkadang jadi hebat sebab mereka seorang pewaris dari dinasti yang besar. Wah! Kalau ente-ente cuma nasi milu janganlah terlalu optimis untuk mendekati mereka. Seperti bambu dan daun yang membungkus nasi jaha, begitu pula mereka menjaga teritorial gengsi serta kehidupan sosial mereka. Belum lagi bumbu-bumbu yang mereka butuhkan. Inilah kaum yang ada namun tiada. Cuma memikirkan nasib sendiri. Nasi putih pun seakan tak berdaya berhadapan dengan mereka. Barangkali golongan yang agak ia segani cumalah nasi bungkus. Tapi jangan kuatir, torang tidak akan mati tanpa nasi jaha, bukan? Yang bahaya jika kita nasi milu tapi sok jadi nasi jaha. Ketinggian itu namanya.
Kalau anda pemuda nasi milu yang ingin mendekati gadis Minahasa berbudaya nasi jaha, saya sarankan cek merek dulu alias bajaoh jo jangan sampe anda diteriaki Bakaca ngana!!! Sebab apa? seperti bambu nasi jaha yang itang badiki begitu pula dari luar sifat dan perilaku mereka tampak. Dan biar pun berhasil anda sentuh bambu itu, hati-hatilah saat merobeknya. Tangan anda bisa tersayat. Tangan so itang kong luka lagi. Eh, ternyata isinya bukan untuk kita. Ampooon! Nasi-nasi...
Tentunya bermacam pikiran membelukar di benak kita usai membaca uneg-uneg ini. Memang tulisan ini sifatnya arguable, karena pada kenyataannya ada juga masyarakat Minahasa yang berbudaya nasi campur, nasi lontong bahkan lalampa. Lantas di nasi manakah kita berada? Ha..ha..ha.. Tenang, jangan dulu menautkan alis. Sudah nyaku sebut pada alinea pertama, ini sekedar curahan hati belaka. Kalau terlampau serius kita malah tidak akan masuk dalam kategori nasi manapun melainkan jadi nasi angus alias tus-tus!!!
Selamat hari jadi Minahasa.
Penulis adalah Generasi Muda Minahasa.
Jumat, 16 Juli 2010
Kamis, 15 Juli 2010
Catatan dari Pameran Perpustakaan Nasional RI 14-17 Juli 2010 di perpustakaan Provinsi Sulut
Arsip-arsip penting kota manado dan Minahasa, tersimpan dalam Perpustakaan nasional RI, data-data ini bisa dihibahkan kepada Arsip Daerah, asalkan pihak Arsip Daerah mampu memeliharanya dengan baik. Ini menjadi catatan bahwa kualitas pengelolaan arsip daerah harus lebih ditingkatkan. mengelola arsip-arsip kuno harus dengan mekanisme khusus untuk menjaga keawetan arsip..
Keadaan Sosial Ekonomi Kota Manado
Kependudukan
Pada tahun 2003, penduduk Kota Manado berdasarkan hasil survei sosial ekonomi nasional 2003 (Susenas, 2002) berjumlah 401.410 jiwa.
Dengan luas wilayah 159,02 Km 2 , berarti kepadatan penduduknya rata-rata mencapai 2.524 jiwa/Km 2 .
Berdasarkan data per kecamatan, kepadatan penduduk tertinggi di kecamatan Tuminting yaitu 11.470 jiwa/Km 2 dan terendah di kecamatan Bunaken yaitu 447 jiwa/Km 2 .
Kepadatan Penduduk Per Km 2 Pada Masing-Masing Kecamatan
No
Kecamatan
Luas Area (Km2)
Penduduk (Jiwa)
Kepadatan (Jiwa/Km 2 )
1 Malalayang
17,37
54.251
3.123,71
2 Sario
3,27
25.600
7.828,75
3 Wanea
7,85
56.675
7.222,05
4 Wenang
3,64
38.224
10.502,54
5 Tikala
15,12
65.600
4.339,49
6 Mapanget
58,21
45.027
773,53
7 Singkil
4,68
46.634
9.969,86
8 Tuminting
4,31
49.439
11.470,77
9 Bunaken
44,58
19.960
447,70
Jumlah
159,02
401.410
2.524,25
Sedangkan kepadatan agraris Kota Manado pada tahun 2002 rata-rata adalah sebesar 24 jiwa per ha luas areal pertanian.
Pada tahun 2002, jumlah penduduk Kota Manado mencapai 388.435 jiwa. Berarti dalam dua tahun terakhir penduduk Kota Manado bertambah 12.975 jiwa atau 3,34 %. Namun jumlah penduduk Kota Manado pernah mencapai 429.810 jiwa pada tahun 1999 dan mengalami penurunan agak drastis pada tahun 2000 yang penduduknya berjumlah 377.949 jiwa yaitu sebesar 12,07 %.
Selanjutnya pada tahun 2001 bertahap naik sebesar 1,3 % dan pada tahun 2002 naik sebesar 1,46 %. Secara keseluruhan jumlah penduduk berjenis kelamin laki-laki lebih besar daripada penduduk berjenis kelamin perempuan. Hal ini ditunjukkan dengan angka sex ratio yang lebih besar 100 yaitu 102,87.
Mata Pencaharian dan Tenaga Kerja.
Di Kota Manado mata pencaharian utama penduduknya adalah dibidang jasa dan perdagangan. Hal ini dapat ditunjukkan pada angka jumlah penduduk yang bekerja dilapangan usaha utama bidang jasa sebesar 49.033 tenaga kerja dan pada bidang perdagangan sebesar 47.390 tenaga kerja.
Distribusi Persentase Kegiatan Ekonomi Berdasarkan Lapangan Usaha Utama
No Lapangan Usaha Tenaga Kerja
1 Pertanian 8.034
2 Pertambangan & Penggalian 662
3 Industri 6.968
4 Listrik, Gas, dan Air 684
5 Bangunan 20.430
6 Perdagangan 47.390
7 Tranportasi dan komunikasi 17.121
8 Keuangan 7.332
9 Jasa - jasa 49.033
Jumlah 157.654
Sumber ::www.dephut.go.id/INFORMASI/INFPROP/sulut/lahankritis_sulut/manado/Bab_II.pdf
Pada tahun 2003, penduduk Kota Manado berdasarkan hasil survei sosial ekonomi nasional 2003 (Susenas, 2002) berjumlah 401.410 jiwa.
Dengan luas wilayah 159,02 Km 2 , berarti kepadatan penduduknya rata-rata mencapai 2.524 jiwa/Km 2 .
Berdasarkan data per kecamatan, kepadatan penduduk tertinggi di kecamatan Tuminting yaitu 11.470 jiwa/Km 2 dan terendah di kecamatan Bunaken yaitu 447 jiwa/Km 2 .
Kepadatan Penduduk Per Km 2 Pada Masing-Masing Kecamatan
No
Kecamatan
Luas Area (Km2)
Penduduk (Jiwa)
Kepadatan (Jiwa/Km 2 )
1 Malalayang
17,37
54.251
3.123,71
2 Sario
3,27
25.600
7.828,75
3 Wanea
7,85
56.675
7.222,05
4 Wenang
3,64
38.224
10.502,54
5 Tikala
15,12
65.600
4.339,49
6 Mapanget
58,21
45.027
773,53
7 Singkil
4,68
46.634
9.969,86
8 Tuminting
4,31
49.439
11.470,77
9 Bunaken
44,58
19.960
447,70
Jumlah
159,02
401.410
2.524,25
Sedangkan kepadatan agraris Kota Manado pada tahun 2002 rata-rata adalah sebesar 24 jiwa per ha luas areal pertanian.
Pada tahun 2002, jumlah penduduk Kota Manado mencapai 388.435 jiwa. Berarti dalam dua tahun terakhir penduduk Kota Manado bertambah 12.975 jiwa atau 3,34 %. Namun jumlah penduduk Kota Manado pernah mencapai 429.810 jiwa pada tahun 1999 dan mengalami penurunan agak drastis pada tahun 2000 yang penduduknya berjumlah 377.949 jiwa yaitu sebesar 12,07 %.
Selanjutnya pada tahun 2001 bertahap naik sebesar 1,3 % dan pada tahun 2002 naik sebesar 1,46 %. Secara keseluruhan jumlah penduduk berjenis kelamin laki-laki lebih besar daripada penduduk berjenis kelamin perempuan. Hal ini ditunjukkan dengan angka sex ratio yang lebih besar 100 yaitu 102,87.
Mata Pencaharian dan Tenaga Kerja.
Di Kota Manado mata pencaharian utama penduduknya adalah dibidang jasa dan perdagangan. Hal ini dapat ditunjukkan pada angka jumlah penduduk yang bekerja dilapangan usaha utama bidang jasa sebesar 49.033 tenaga kerja dan pada bidang perdagangan sebesar 47.390 tenaga kerja.
Distribusi Persentase Kegiatan Ekonomi Berdasarkan Lapangan Usaha Utama
No Lapangan Usaha Tenaga Kerja
1 Pertanian 8.034
2 Pertambangan & Penggalian 662
3 Industri 6.968
4 Listrik, Gas, dan Air 684
5 Bangunan 20.430
6 Perdagangan 47.390
7 Tranportasi dan komunikasi 17.121
8 Keuangan 7.332
9 Jasa - jasa 49.033
Jumlah 157.654
Sumber ::www.dephut.go.id/INFORMASI/INFPROP/sulut/lahankritis_sulut/manado/Bab_II.pdf
Langganan:
Postingan (Atom)