Senin, 19 Juli 2010

PROBLEMATIKA AKUNTABILITAS PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

Oleh: Ridwan Lamani*)



Pendahuluan
Pemerintah Indonesia telah melakukan reformasi manajemen keuangan negara baik pada pemerintah pusat maupun pada pemerintah daerah dengan ditetapkannya paket undang-undang bidang keuangan negara, yaitu UU 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Peraturan perundang-undangan tersebut menyatakan bahwa Gubernur/Bupati/Walikota menyampaikan rancangan peraturan daerah tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan, selambat-lambanya 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir. Laporan Keuangan disusun dan disajikan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (PP 24 tahun 2005). Disamping Undang-undang dan peraturan pemerintah tersebut, Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Permendagri No 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Pada Intinya semua peraturan tersebut menginginkan adanya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan daerah.
Dalam laporannya yang dimuat harian Republika tanggal 4 Mei 2010, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Anwar Nasution mengungkapkan, dari 362 laporan keuangan pemerintah daerah (PEMDA) yang diaudit BPK, hanya tiga laporan keuangan atau kurang dari satu persen yang mendapatkan opini ‘wajar tanpa pengecualian’ di mana Sulawesi Utara menjadi salah satu propinsi yang mendapatkan opini tersebut. Opini seperti ini merupakan opini bahwa laporan keuangan tersebut telah sesuai dengan standar yang ditetapkan. Adapun sisanya sebanyak 284 laporan keuangan memperoleh ‘wajar dengan pengecualian’, 19 laporan keuangan ‘tidak wajar’, dan 56 laporan keuangan ‘disclaimer’.
Kondisi ini cukup memprihatinkan, mengingat ketentuan agar Pemda membuat laporan keuangan secara komprehensif berupa neraca, laporan arus kas, dan laporan realisasi anggaran telah diamanatkan dalam UU No 25 tahun 1999 tentang Keuangan Daerah. Tulisan ini mencoba menganalisis masalah yang menyebabkan lambatnya kemajuan pemerintah daerah dalam mewujudkan laporan keuangan yang akuntabel dari aspek ketersediaan sumber daya manusia, konsistensi kebijakan pemerintah pusat, dan paradigma kepala daerah terhadap laporan keuangan Pemerintah Daerah.

Isu-isu reformasi pengelolaan keuangan daerah
Isu yang muncul dan menjadi perdebatan dalam reformasi akuntansi pemerintahan di Indonesia adalah perubahan single entry menjadi double entry. Single entry pada awalnya digunakan sebagai dasar pembukuan dengan alasan utama demi kemudahan dan kepraktisan. Seiring dengan semakin tingginya tuntutan pewujudan good public governance, perubahan tersebut dipandang sebagai solusi yang mendesak untuk diterapkan karena pengaplikasian double entry dapat menghasilkan laporan keuangan yang lengkap dan auditable. 1
Pada sistem pencatatan single entry pencatatan transaksi ekonomi dilakukan dengan mencatat satu kali, transaksi yang berakibat bertambahnya kas dicatat pada sisi penerimaan dan transaksi ekonomi yang berakibat berkurangnya kas dicatat pada sisi pengeluaran. Sedangkan pada sistem pencatatan double entry pada dasarnya suatu transaksi ekonomi akan dicatat dua kali yaitu pada sisi debet dan sisi kredit.2




Disamping isu sistem pencatatan diatas, isu penting lainnya dalam akuntansi pemerintahan adalah basis pencatatan yang digunakan (basis kas atau basis akrual). Dalam Standar Akuntansi Pemerintahan (PP No. 24/2005) basis pencatatan yang digunakan adalah cash towards accrual. Dengan basis pencatatan ini, untuk realisasi pendapatan, belanja, penerimaan dan pengeluaran pembiayaan dicatat berdasarkan basis kas, sedangkan untuk mencatat aset, kewajiban dan ekuitas dicatat berdasarkan basis akrual. Dalam pelaksanaan basis pencatatan ini dikembangkan teknik jurnal yang disebut jurnal korolari, dimana jurnal korolari ini tidak ditemukan dalam akuntansi komersial.

Kendala Sumber Daya Manusia
Reformasi pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 1999 menyebabkan berubahnya praktik akuntansi sederhana single entry berbasis kas menjadi praktik akuntansi double entry berbasis akrual yang relatif lebih rumit agar dapat menghasilkan neraca dan laporan arus kas di samping laporan realisasi anggaran. Praktik akuntansi double entry berbasis akrual, kendati relatif lebih rumit, dipandang memiliki kelebihan berupa kandungan informasi yang lebih baik kepada publik. Selain menginformasikan jumlah dana masyarakat yang dibelanjakan, sistem tersebut juga menginformasikan nilai aset yang dibeli maupun yang dikuasai oleh Pemda. Dengan demikian potensi maupun kinerja keuangan Pemda akan tergambar secara lebih baik jika menggunakan praktik akuntansi double entry berbasis akrual tersebut.
Permasalahannya adalah, untuk menerapkan akuntansi double entry berbasis akrual diperlukan sumber daya manusia (SDM) yang memahami logika akuntansi secara baik.
Aparatur Pemda yang menangani masalah keuangan tidak cukup hanya menguasai penatausahaan anggaran melainkan juga harus memahami karakteristik transaksi yang terjadi dan pengaruhnya terhadap rekening-rekening dalam laporan keuangan Pemda. Kegagalan SDM Pemda dalam memahami dan menerapkan logika akuntansi akan berdampak pada kekeliruan laporan keuangan yang dibuat dan ketidaksesuaian laporan dengan standar yang ditetapkan pemerintah. Dalam hal ini, umumnya Pemda memiliki keterbatasan jumlah SDM yang menguasai logika akuntansi secara baik.
Banyaknya SDM keuangan Pemda yang berlatar belakang non-akuntansi merupakan satu kendala utama saat ini. Akibatnya berbagai pelatihan yang diadakan oleh Pemda maupun pemerintah pusat tidak memberikan hasil maksimal. Dengan demikian, upaya melakukan rekrutmen pegawai berlatar belakang akuntansi dengan spesifikasi teknis akuntansi yang baik merupakan suatu pilihan yang tepat untuk dikembangkan. Permasalahannya, rekrutmen pegawai untuk mengatasi keterbatasan SDM selama ini belumlah optimal dalam mendapatkan pegawai dengan kompetensi terbaik. Hal ini disebabkan oleh model seleksi pegawai yang diterapkan masih bersifat umum dan belum menggali aspek kompetensi akuntansi peserta ujian.
Di samping faktor SDM, tidak konsistennya pemerintah pusat terhadap kebijakan yang dikeluarkan terkait pengelolaan keuangan daerah juga merupakan faktor utama lambatnya kemajuan akuntabilitas keuangan daerah. Dengan alasan perbaikan tata kelola, kebijakan pengelolaan keuangan daerah seringkali direvisi oleh pemerintah pusat melalui berbagai peraturan baru. Pada tahun 2004 misalnya, dengan keluarnya UU No 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sebagai pengganti UU No 25 tahun 1999, Keputusan Menteri Dalam Negeri No 29 tahun 2002 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah yang masih pada tahap sosialisasi, harus segera direvisi kebijakannya agar sinkron dengan UU No 33 yang baru keluar tersebut. Kondisi ini bagi aparatur keuangan Pemda cukup membingungkan dan merepotkan. Ketika hendak mengimplementasikan suatu pedoman yang baru dipelajari, aparatur Pemda sudah diinstruksikan untuk mempelajari ketentuan baru yang berbeda dengan pedoman yang baru saja dipelajari di berbagai pelatihan teknis. Hal ini menjadikan mereka menjadi tidak begitu menguasai persoalan yang harus dihadapinya.
Saat ini, aparatur Pemda menggunakan Peraturan Menteri Dalam Negeri No 9 tahun 2007 sebagai pedoman pengelolaan keuangan daerah, untuk menggantikan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006. Kendati pedoman ini telah mulai familiar di kalangan aparatur Pemda, pengalaman inkonsistensi kebijakan pemerintah pusat tetap membuat sebagian besar Pemda memilih untuk tidak cepat-cepat menerapkan sepenuhnya pedoman ini. Adapun bagi sebagian Pemda, langkah serius untuk menerapkannya baru akan dilakukan jika pemerintah pusat dipandang tidak akan mengubah kebijakan tersebut dalam waktu dekat.
Faktor terakhir yang cukup signifikan menyebabkan lambatnya kemajuan akuntabilitas laporan keuangan Pemda adalah paradigma kepala daerah terhadap benefit dibuatnya laporan keuangan. Banyak kepala daerah masih memandang penyediaan laporan keuangan tidak memberikan benefit yang berarti bagi dirinya maupun daerah yang dipimpinnya, dan bahkan cenderung dipandang sebagai sesuatu yang memberatkan. Pandangan ini menyebabkan minimnya political will kepala daerah dalam menyiapkan berbagai sumber daya yang diperlukan untuk mewujudkan laporan keuangan yang akuntabel. Kondisi ini makin memprihatinkan di daerah yang anggota DPR

Kesalahan Paradigma “Takut Ancaman”
Satu alasan utama bagi sebagian besar Pemda untuk membuat dan menyerahkan laporan keuangan kepada pemerintah pusat adalah adanya ancaman dari Departemen Keuangan untuk tidak mencairkan Dana Alokasi Umum sekiranya Pemda tidak menyerahkan laporan keuangan mereka. Hal ini tentulah cukup memprihatinkan, karena sejatinya laporan keuangan yang akuntabel, merupakan hak publik yang harus dipenuhi oleh kepala daerah yang telah dipilih oleh rakyat.
Jika dibuat dengan kaidah yang benar, laporan keuangan juga dapat dijadikan sebagai dasar yang objektif bagi Pemda dalam membuat perencanaan pembangunan di masa yang akan datang. Laporan tersebut selanjutnya juga bisa dijadikan instrumen yang memadai untuk mengantisipasi dan memverifikasi penyimpangan keuangan yang mungkin terjadi di lingkungan Pemda. Jika paradigma positif ini dimiliki oleh para kepala daerah, tentunya pembuatan laporan keuangan yang akuntabel tidak harus menunggu disyaratkannya laporan keuangan dengan ‘opini wajar tanpa pengecualian’ sebagai dasar dicairkannya Dana Alokasi Umum oleh pemerintah pusat.

Penutup
Laporan keuangan pemerintah daerah yang dihasilkan melalui akuntansi merupakan bentuk transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan publik. Untuk dapat menghasilkan laporan keuangan yang semakin baik, dibutuhkan tenaga-tenaga akuntansi terampil pada pemerintah daerah, hal ini dapat dilakukan melaui kegiatan bimbingan teknis akuntansi bagi pegawai pemerintah daerah yang ditugaskan sebagai pengelola keuangan atau melalui rekrutmen pegawai baru yang memiliki kemampuan akuntansi keuangan daerah.
Disamping tenaga-tenaga akuntansi terampil tersebut, juga dibutuhkan adanya sistem dan prosedur pembukuan yang memadai dan kebijakan akuntansi sebagai pedoman pegawai dalam mengelola keuangan daerah. Regulasi pemerintah yang berubah terlalu cepat juga membuat kualitas pelaporan keuangan daerah menjadi kurang menggembirakan. Selain kenadala-kendala tersebut, Paradigma kepala daerah soal keutungan yang bisa diperoleh dari sistem pelaporan itu juga menjadi kendala serius.



1. Mardiasmo, 2006, Pewujudan Transparansi dan Akuntabilitas Publik Melalui Akuntansi Sektor Publik: Suatu Sarana Good Governance, Jurnal Akuntansi Pemerintahan, Vol. 2, No. 1, Mei 2006, Hal 1 – 17
2. Abdul Hafiz Tanjung, 2008, Akuntansi Pemerintahan Daerah: Konsep dan Aplikasi, Cetakan kedua, Alfabeta, Bandung.

*) Ridwan Lamani, SE; Staf Tata Usaha pada Kantor Arsip dan Perpustakaan Kota Manado

Tidak ada komentar:

Posting Komentar